“Jual di Bulan Mei dan Pergi” merupakan sebuah mitos di dunia keuangan yang terkenal. Hal ini didasarkan pada kinerja buruk histori beberapa jenis saham dalam periode “summer” yang dimulai pada bulan Mei dan berakhir di Oktober. Ini dibandingkan dengan periode “winter” dari bulan November hingga April.
Sell in May and Go Away (SMGA) sendiri merupakan strategi investasi yang unik. Strategi ini tidak didasarkan pada analisis fundamental perusahaan, maupun analisis teknikal yang berbasis pola harga saham di masa lalu, namun pada aspek musiman (seasonal strategy).
Sebagai informasi, rata-rata kenaikan harga indeks saham Dow Jones Industrial Average pada best period selama 54 tahun terakhir mencapai 7,5%. Sedangkan rata-rata harga saham selama worst period hanya naik 0,3%.
Maka strategi musiman bagi investor atau trader saham adalah menjual saham pada awal Mei, memegang uang tunai dan membeli kembali saham pada awal November. Tindakan investor menjual saham di bulan Mei dan tidak kembali lagi hingga November menimbulkan istilah SMGA.
Bouman dan Jacobsen di tahun 2002 melakukan riset dengan sampel 37 negara menggunakan data hingga tahun 1998. Mereka mengindikasikan bahwa di 35 negara tersebut terjadi fenomena “SMGA Effect”, imbal hasil periode November-April secara nyata lebih tinggi dari imbal hasil periode Mei-Oktober.
Andrade, dkk dari Chartered Financial Institute di tahun 2013 melanjutkan riset Bouman dan Jacobsen tersebut dengan meneliti periode 1998-2012 di 37 negara. Mereka juga menemukan bahwa imbal hasil periode November-April secara nyata lebih tinggi dari periode Mei-Oktober. Sayangnya apa yang menyebabkan fenomena SMGA Effect tersebut, hingga saat ini masih belum jelas.
Lantas, apakah mitos Sell in May and Go Away (SMGA) juga berlaku di pasar modal Indonesia?
Berdasarkan data IHSG selama 20 tahun terakhir, bulan yang paling banyak ruginya, justru jatuh pada bulan Agustus dan November. Sebab, IHSG tercatat 11 kali turun dan 9 kali naik pada kedua bulan tersebut.
Probabilitas atau kemungkinan mengalami return positif adalah 45 persen,sementara untuk bulan Mei, tercatat naik 12 kali dan turun 8 kali, atau rasio bulan positifnya 60 persen. Secara rata-rata, Agustus adalah bulan dengan rata-rata return paling kecil yaitu -1.81 persen. Sementara return bulanan terburuk pernah terjadi pada bulan Oktober dengan penurunan -31 persen pada tahun 2008 akibat krisis keuangan global.
Angka ini lebih dalam dari penurunan 16 persen pada Maret 2020, di mana terjadi krisis akibat pandemi COVID-19. Yang menarik, bulan Desember adalah bulan yang tidak pernah negatif selama 20 tahun terakhir, bahkan di tahun terjadinya krisis besar seperti 2008 dan 2020.
Dari data IHSG selama 20 tahun terakhir, Mei – Oktober yang dianggap sebagai periode buruk bagi saham, IHSG malah tercatat naik 13 kali dan turun 7 kali. Jika dipersentasekan berarti probabilitas atau kemungkinan IHSG naik pada bulan Mei – Oktober adalah 65 persen, sementara jika turun adalah 35 persen.
Karena angkanya di atas 50 persen, rasanya agak kurang tepat juga jika mau menyebut bahwa pada rentang Mei – Oktober ini sebagai periode yang buruk untuk saham.
Perlu diperhatikan, investasi di saham atau reksa dana berbasis saham memang sudah seharusnya lebih berorientasi jangka panjang di atas 5 tahun. Karena itu, penurunan harga justru seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menambah investasi karena bisa mendapatkan harga rata-rata yang lebih murah.